Makalah Ilmu Hadits dan Perkembangannya
Makalah Ilmu Hadits dan Perkembangannya :
Makalah Ilmu Hadits dan Perkembangannya |
Makalah Ilmu Hadits dan Perkembangannya :
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan di dunia ini kita berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits. Pada Al-Qur’an semua wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW baik dengan cara inspiratif, diajak bicara langsung oleh ALLAH lewat tabir, melalui penglihatan di waktu tidur ataupun dari utusan ALLAH seperti malaikat jibril adalah mutlak. Apapun yang tertulis didalam Al-Qur’an itu bersifat abadi dan tidak bisa dirubah karena Al-Qur’an sebagai penyempurna kitab-kitab terdahulu. Jadi apa yang terdapat didalam Al-Qur’an saat ini begitu jugalah yang terdapat pada masa nabi dan para rasul.
Sedangkan hadits adalah segala apa yang diberitakan dari nabi Muhammad Saw. Baik berupa perkataan, perbuatan, atau berupa pembiasaan atas perbuatan sahabatnya. Karena hadits ini ada yang bisa diterima dan ditolak oleh para ulama maka dari itu Ilmu Hadits sangat diperlukan agar kita bisa menjalani kehidupan ini dengan baik dan benar.
B. Rumusan Masalah
Secara garis besar pembuatan makalah kami ini membahas tentang:
1. Periode-periode tentang perkembangan Ilmu hadits
2. Cabang-cabang ilmu hadits yang dikelompokkan menjadi beberapa hal
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pedoman Kehidupan
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an berasal dari kata qara’a yang artinya membaca. Al-Qur’an adalah kita suci umat islam yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW, Al-Qur’an diturunkan secara beragsur-angsur dalam berbagai peristiwa. Baik itu secara langsung bicara dengan Allah lewat tabir, melalui penglihatan dalam tidur ataupun melalui utusan seperti yang sering kita kenal dengan malaikat jibril.
Al-Qur’an merupakan pedoman bagi umat manusia hingga hari kiamat dan yang tertulis didalamnya itu bersifat abadi sehingga tidak bisa diubah lagi. Jadi ayat yang tertulis didalam Al-Qur’an pada masa sekarang ini juga seperti itulah yang diketahui oleh Nabi Muhammad dan para sahabat rasul serta orang-orang terdahulu setelah adanya islam. Al-Qur’an sebagai penyempurna kitab-kitab Allah yang telah diturunkan kepada nabi-nabi sebelum nabi Muhammad SAW sekaligus ini menjadi mukjizat untuk Nabi Muhammad SAW.
b. Hadits
Pada intinya Hadits dan As-Sunnah adalah sesuatu yang bersandarkan dengan Nabi Muhammad SAW. Namun adapun diantara keduanya ada perbedaan yang perlu disinggung dalam makalah kelompok kami ini.
Adapun hadits atau Al-Hadits secara bahasa diartikan sebagai sesuatu yang baru (Al-Jadid) yang mana lawan kata dari Al-Qadim (Sesuatu yang lama). Hadits juga berarti Al-Khabar (berita) yang mana berarti sesuatu yang dipercakapkan dari seseorang dan dipindahkan kepada orang lain. Kata jamaknya Al-Ahadis.
Secara istilah atau terminology para ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat tentang pendefenisian istilah hadits ini. Bahkan dikalangan ahli hadits itu sendiripun terdapat beberapa perbedaan pendapat. Maha suci Allah yang memberikan perbedaan ini agar kita selalu bersatu dalam sebuah rahmat.
Para ahli hadits ada yang mendefenisikan bahwa hadits itu adalah “Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya".Ulama hadits menerangkan bahwa yang termasuk “hal ihwal”, ialah segala pemberitaan tentang Nabi Saw, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya. “Para ahli yang lain ada yang mengatakan:”Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya.
Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai "Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".
Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para ahli hadits dalam mendefinisikan hadits. Kesamaan dalam mendefinisikan hadits ialah hadits dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits, tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya.
Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut :
"Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara'".
Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul, terdapat persamaan yaitu ; "memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung prilaku dan ucapan shabat atau tabi'in. Perbedaan mereka terletak pada cakupan definisinya. Definisi dari ahli hadits mencakup segala sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir. Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya menyangkut aspek perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara'.
c. As-Sunnah
Menurut bahasa berarti “Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang jelek”. Menurut MT. Hasbi Ash Shiddieqy,ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji atau tidak. Sedangkan sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits) ialah segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya.
Menurut Fazlur Rahman, sunnah adalah praktek actual yang karena telah lama ditegakkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya memperoleh status normative dan menjadi sunnah. Sunnah adalah satu konsep perilaku.
Menurut Ajjaj Al-Khatib, bila kata sunnah diterapkan ke dalam masalah-masalah hokum syara’, maka yang dimaksud dengan kata sunnah disni adalah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, da dianjurkan oleh Rasulullah SAW, baik berupa perkataan maupun perbuatannya. Dengan demikian, apabila dalam dalil hokum syara’ disebutkan Al Kitab dan As-Sunnah, maka yang dimaksudnya adalah Al-Qur’an dan Hadits.
Pengertian Sunnah ditinjau dari sudut istilah, dikalangan ulama terdapat perbedaan. Ada ulama yang mengartikan sama dengan hadits, dan ada ulama yang membedakannya, bahkan ada yang member syarat-syarat tertentu, yang berbeda dengan istilah hadits.
Ulama ahli hadits merumuskan pengertian Sunnah sebagai berikut:
“Segala yang bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi rasul, seperti ketika bersemedi di gua Hira’ maupun sesudahnya”. Defenisi ini sama halnya dengan pendefenisian Hadits. Ini disebabkan mereka memandang diri Rasulullah sebagai Uswatun Hasanah atau Qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna bukan sebagai sumber hokum.
Oleh karena itu, mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala berita yang diterima tentang diri rasul. Tanpa membedakan apakah isinya berkaitan dengan penetapan hokum syara’ atau tidak. Begitu juga mereka tidak melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut, apabila ucapan atau perbuatannya itu dilakukan sebelum di utus menjadi Rasul atau sesudahnya.
Ulama Ushul fiqih memberikan defenisi sunnah adalah “segala yang dinukilkan dari nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan hokum”.
Menurut TM Hasbi Ash Shiddieqy, makna inilah yang diberikan kepada perkataan Sunnah dalam sabda Nabi sebagai berikut: “Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali kamu sesat selama kamu berpegang kepadanya, yakni kitabullah dan sunnah rasul-Nya” (HR Malik)
Perbedaan pengertian tersebut diatas, disebabkan karena ulama hadits memandang Nabi SAW, sebagai yang sempurna, yang dijadikan suri tauladan bagi umat muslim, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat AL-Ahzab ayat 21, sebagai berikut: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”.
Ulama hadits membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan nabi Muhammad SAW, baik yang ada hubungannya dengan ketetapan hokum syariat islam maupun tidak. Sedangkan agama ushul fiqih, memandang Nabi Muhammad SAW sebagai Musyarri: artinya pembuat undang-undang disamping Allah. Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi: “…Apa yang diberikan oleh rasul, maka ambillah atau kerjakanlah. Dan apa yang dilarang oleh rasul jauhilah”.
Ulama fiqih, memandang sunnah ialah “perbuatan yang dilakukan dalam agama, tetapi tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Atau dengan kata lain sunnah adalah suatu amalan yang diberi pahala apabila dikerjakan, da tidak dituntuk apabila ditinggalkan.
Menurut Dr. Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambiyah menerangkan bahwa sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekkan oleh Nabi scara kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya, sedangkan Hadits ialah ucapan-ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh seseorag, dua atau tiga orang perawi, dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri.
B. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Hadits
a. Periode Pertama(Zaman Rasul)
Para sahabat bergaul dan berinteraksi langsung dengan Nabi, sehingga setiap permasalahan atau hukum dapat ditanyakan langsung kepada Nabi. Para sahabat lebih fokus dengan menghapal dan mempelajari Al-Qur’an. Rasul pada masa itu secara umum melarang menuliskan hadits karena takut tercampur baur dengan ayat Al-Qur’an karena wahyu sedang / masih diturunkan.
Secara umum sahabat masih banyak yang buta huruf sehingga tidak menuliskan hadits, mereka meriwayatkan hadits mengandalkan hafalan secara lisan. Sebagian kecil sahabat –yang pandai baca tulis- menuliskan hadits seperti : Abdullah Bin Amr Bin Ash yang mempunyai catatan hadits dan dikenal sebagai “Shahifah Ash Shadiqah” juga Jabir Bin Abdullah Al Anshary mempunyai catatan hadits yang dikenal sebagai “Shahifah Jabir”. Pada event tertentu orang arab badui ingin fatwa Nabi dituliskan, maka Nabi meluluskan permintaan nya untuk menuliskan hadits untuknya. Para sahabat masih disibukkan dengan peperangan penaklukan kabilah-kabilah di seluruh jazirah Arab. Para sahabat yang belum paham tentang suatu hukum bisa saling bertanya kepada yang lebih tahu dan saling mempercayai penuturannya.
b. Periode Kedua (Masa Kulafaur Rasyidin)
Sebagian sahabat tersebar keluar jazirah Arab karena ikut serta dalam jihad penaklukan ke daerah Syam, Iraq, Mesir, Persia. Pada daerah taklukan yang baru masuk Islam, Khalifah Umar menekankan agar mengajarkan Al-Qur’an terlebih dahulu kepada mereka. Khalifah Abu Bakar meminta kesaksian minimal satu orang bila ada yang meriwayatkan hadits kepadanya. Khalifah Ali meminta bersumpah orang yang meriwayatkan hadits. Khalifah Umar melarang sahabat besar keluar dari kota Madinah dan melarang memperbanyak periwayatan hadits. Setelah Khalifah Umar wafat, sahabat besar keluar kota Madinah tersebar ke Ibukota daerah taklukkan untuk mengajarkan agama.
c. Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar)
Para sahabat besar telah terpencar kelur dari Madinah. Jabir pergi ke Syam menanyakan hadits kepada sahabat Abdullah Bin Unais Al Anshary. Abu Ayyub Al Anshary pergi ke Mesir menemui sahabat Utbah Bin Amir untuk menanyakan hadits. Masa ini sahabat besar tidak lagi membatasi diri dalam periwayatan hadits, yang banyak meriwayatkan hadits antara lain :
a. Abu Hurairah (5347 hadits)
b. Abdullah Bin Umar (2360 hadits)
c. Anas Bin Malik (2236 hadits)
d. Aisyah, Ummul Mukminin (2210 hadits)
e. Abdullah Bin Abbas (1660 hadits)
f. Jabir Bin Abdullah (1540 hadits)
g. Abu Sa’id Al Kudri (1170 hadits)
h. Ibnu Mas’ud
i. Abdullah Bin Amr Bin Ash
Pada waktu pemerintahan Khalifah Ali, terjadi pemberontakan oleh Muawiyah Bin Abu Sofyan, setelah peristiwa tahkim (arbitrase) muncul kelompok (sekte) kawarij yang memusuhi Ali dan Muawiyah. Setelah terbunuhnya Khalifah Ali, muncul sekte Syiah yang mendukung Ali dan keturunannya sementara kelompok jumhur (mayoritas) tetap mengakui pemerintahan Bani Umayah. Sejak saat itu mulai bermunculan hadits palsu yang bertujuan mendukung masing-masing kelompoknya. Kelompok yang terbanyak membuat hadits palsu adalah Syiah Rafidah.
d. Periode Ke Empat (Masa pembukuan Hadits)
Pada waktu Umar Bin Abdul Aziz (Khalifah ke-8 Bani Umayyah) yang naik tahta pada tahun 99 H berkuasa, beliau dikenal sebagai orang yang adil dan wara’ bahkan sebagian ulama menyebutnya sebagai Khulafaur Rasyidin yang ke-5, tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits dengan motif :
a. Beliau khawatir ilmu hadits akan hilang karena belum dibukukan dengan baik.
b. Kemauan beliau untuk menyaring hadits palsu yang sudah mulai banyak beredar.
c. Al-Qur’an sudah dibukukan dalam mushaf, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran tercampur dengan hadits bila hadits dibukukan.
d. Peperangan dalam penaklukan negeri negeri yang belum Islam dan peperangan antar sesama kaum Muslimin banyak terjadi, dikhawatirkan ulama hadits berkurang karena wafat dalam peperangan-peperangan tersebut.
Khalifah Umar menginstruksikan kepada Gubernur Madinah Abu Bakar Bin Muhammad Bin ‘Amr Bin Hazm (Ibnu Hazm) untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada tabi’in wanita ‘Amrah Binti ‘Abdur Rahman Bin Sa’ad Bin Zurarah Bin ‘Ades, murid Aisyah-Ummul Mukminin.
Khalifah Umar Bin Abdul Azis menulis instruksi kepada Ibnu Hazm :
“Lihat dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah, lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan anda terima selain hadits Rasulullah saw dan hendaklah anda sebarkan ilmu dan mengadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia.”
· Berdasarkan instruksi resmi Khalifah itu, Ibnu Hazm minta bantuan dan menginstruksikan kepada Abu Bakar Muhammad Bin Muslim Bin Ubaidillah Bin Syihab az Zuhry (Ibnu Syihab Az Zuhry)-seorang ulama besar dan mufti Hijaz dan Syam- untuk turut membukukan hadits Rasulullah saw.
· Setelah itu penulisan hadits pun marak dan dilakukan oleh banyak ulama abad ke-2 H, yang terkenal diantaranya :
a. Al-Muwaththa’, karya Imam Malik Bin Anas (95 H – 179 H).
b. Al Masghazy wal Siyar, hadits sirah nabawiyah karya Muhammad Ibn Ishaq (150 H).
c. Al Mushannaf, karya Sufyan Ibn ‘Uyainah (198 H)
d. Al Musnad, karya imam Abu Hanifah (150 H)
e. Al Musnad, karya imam Syafi’i (204 H)
e. Periode Kelima (Masa Kodefikasi Hadis)
1. Periode Penyaringan hadits dari Fatwa-fatwa sahabat (abad ke-III H)
· Menyaring hadits nabi dari fatwa-fatwa sahabat nabi
· Masih tercampur baur hadits sahih, dhaif dan maudlu’ (palsu).
· Pertengahan abad tiga baru disusun kaidah-kaidah penelitihan ke sahihan hadits.
· Penyaringan hadits sahih oleh imam ahli hadits Ishaq Bin Rahawaih (guru Imam Bukhary).
· Penyempurnaan kodifikasi ilmu hadits dan kaidah-kaidah pen sahihan suatu hadits.
· Penyusunan kitab Sahih Bukhory
· Penyusunan enam kitab induk hadits (kutubus sittah), yaitu kitab-kitab hadits yang diakui oleh jumhur ulama sebagai kitab-kitab hadits yang paling tinggi mutunya, sebagian masih mengandung hadits dhaif tapi ada yang dijelaskan oleh penulisnya dan dhaifnya pun yang tidak keterlaluan dhaifnya, ke enam kuttubus shittah itu adalah :
a. Sahih Bukhory
b. Sahih Muslim
c. Sunan Abu Dawud
d. Sunan An Nasay
e. Sunan At-Turmudzy
f. Sunan Ibnu Majah
2. Periode menghafal dan meng isnadkan hadits (abad ke-IV H)
· Para ulama hadits berlomba-lomba menghafalkan hadits yang sudah tersusun pada kitab-kitab hadits.
· Para ulama hadits mengadakan penelitian hadits-hadits yang tercantum pada kitab-kitab hadits.
· Ulama hadits menyusun kitab-kitab hadits yang bukan termasuk kuttubus shittah.
3. Periode Klasifikasi dan Sistimasi Susunan Kitab-Kitab Hadits (abad ke-V H s.d 656 H, jatuhnya Baghdad)
· Mengklasifikasikan hadits dan menghimpun hadits-hadits yang sejenis.
· Menguraikan dengan luas (men syarah) kitab-kitab hadits.
· Memberikan komentar (takhrij) kitab-kitab hadits.
· Meringkas (ikhtisar) kitab-kitab hadits.
· Menciptakan kamus hadits.
· Mengumpulkan (jami’) hadits-hadits bukhory-Muslim
· Mengumpulkan hadits targhib dan tarhib.
· Menyusun kitab athraf, yaitu kitab yang hanya menyebut sebagian hadits kemudian mengumpulkan seluruh sanadnya, baik sanad kitab maupun sanad dari beberapa kitab.
· Menyusun kitab istikhraj, yaitu mengambil sesuatu hadits dari sahih Bukhory Muslim umpamanya, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri, yang lain dari sanad Bukhary atau Muslim karena tidak memperoleh sanad sendiri.
· Menyusun kitab istidrak, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhary dan Muslim atau syarat salah seorangnya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau di sahihkan oleh keduanya.
f. Periode Ke Enam (dari tahun 656 H sampai sekarang)
Mulai dari jatuhnya Baghdad oleh Hulagu Khan dari Mongol tahun 656 H – sekarang ini.
· Menertibkan, menyaring dan menyusun kitab kitab takhrij.
· Membuat kitab-kitab jami’
· Menyusun kitab-kitab athraf
· Menyusun kitab-kitab zawaid, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang tidak terdapat dalam kitab-kitab yang sebelumnbya kedalam sebuah kitab yang tertentu.
C. Pembagian Ilmu Hadits
Para ulama telah membagi ulumul hadits menjadi dua. Yaitu ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah.
a. Ilmu Hadits Riwayah
Menurut Zhafar Ahmad ibn Lathif Al-Ustmani Al-Tahanawi di dalam Qawa’id fi ulum al hadis bahwa ilmu hadits yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan, perbuatan dan keadaan rasul SAW serta periwayatan, pencatatan dan penguraian lafaz-lafaznya. Berdasarkan defenisi tersebut dapat dipahami bahwa pada dasarnya ilmu hadits riwayah itu membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadits Nabi SAW. Objek kajian ilmu hadits riwayah meliputi 2 hal. Yang pertama cara periwayatan hadits yaitu cara penerimaan dan demikian juga cara penyampaian dari seorang perawi kepada perawi lain. Yang kedua adalah cara pemeliharan hadits yakni dalam bentuk penghafalan, penulisan dan pembukuan hadits tersebut.
Urgensi atau tujuan dalam ilmu hadits riwayah ini agar hadits itu tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan periwayatannya. Sehingga hadits itu terpelihara kemurnian isi dan maknanya. Hal ini sejalan dengan perintah Allah SWT agar menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai teladan dalam kehidupan ini.
b. Ilmu Hadits Dirayah
Dalam ilmu hadits dirayah ini para ulama hadits memberikan defenisi yang bervariasi, namun kalau dicermati lagi tentang varian defenisi ini akan ditemukan kesamaan antara satu dan yang lainnya terutama dalam sasaran pendefenisiannya. Ibn al akfani mendefenisikan bahwa ilmu hadits dirayah adalahh ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya,keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Selain itu M. Hajjaj al khatib mendefenisikan bahwa ilmu hadits dirayah adalah kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marawi dari segi diterima dan ditolaknya
Objek kajian ilmu hadits dirayah adalah dari segi persambungan sanad (ittishal al-sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad hadits haruslah bersambung mulai dari Sahabat sampai kepada periwayat terakhir yang menuliskan atau membukukan hadis tersebut. Oleh karenanya tidak dibenarkan suatu rangkaian sanad tersebut yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya atau tersamar. Dari segi keterpercayaan sanad (siqat al-sanad), yaitu bahwa setiap perawi yang terdapat di dalam sanad suatu hadis harus memiliki sifat adil dan dhabith (kuat dan cermat hafalan atau dokumentasi hadisnya). Di segi keselamatannya terbebas dari kejanggalan (syadz), cacat (‘illat) dan tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad.
Tujuan dan urgensi ilmu hadis dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan hadis-hadis yang Maqbul (yang dapat diterima sebagai dalil atau untuk diamalkan) dan yang Mardud (yang ditolak).
Ilmu hadis dirayah inilah yang pada masa selanjutnya secara umum dikenal dengan Ulumul Hadis, Musthalahul Hadis, atau Ushul al-Hadis. Keseluruhan nama-nama di atas meskipun bervariasi, namun mempunyai arti dan tujuan yang sama, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaanperawi (sanad) dan marwi (matan) suatu hadis, dari segi diterima dan ditolaknya.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Hadits yang bisa diketahui dari berbagai media pada zaman sekarang ini memiliki syarat-syarat diterima dan ditolak. Ini berfungsi untuk umat agar tidak salah dalam menjalankan kehidupan yang berpedoman dengan Al-Qur’an dan Hadits. Cukup lama untuk mengelompokkan hadits mana yang bisa diterima atau ditolak karena dari zaman rasul hingga sekarang telah terjadi berbagai peristiwa yang mana ada banyak sekali stakeholder yang ingin mengacaukan islam dalam segi hadits agar tersesat.
B. Saran-Saran
Sungguh bahagianya kita yang hidup di zaman sekarang yang telah merasakan banyak kemajuan teknologi yang secara garis besar berbanding lurus dengan kemudahan kita untuk belajar tentang agama meskipun tetap ada juga oknum yang tak betanggung jawab ingin menyesatkan umat islam. Saran dari kelompok kami yang mana ingin memberikan pelajaran tanpa bermaksud untuk menggurui bahwa jika terdapat hadits dalam kehidupan ini agar bisa dicari kebenaran diterimanya agar kita sama-sama bisa menjalani kehidupan ini dengan efisien dan efektif.
Terimakasih telah membaca Makalah Ilmu Hadits dan Perkembangannya... semoga bermanfaat.
keywords: Makalah Ilmu Hadits dan Perkembangannya, Ilmu Hadits dan Perkembangannya, Makalah Ilmu Hadits
0 komentar: